DalamGBHN disebutkan bahwa hakikat Wawasan Nusantara diwujudkan dengan menyatakan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi, kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya, dan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan. B. Dasar Hukum Wawasan Nusantara
sebagainegara kepulauan dengan semua aspek kehidupan 2. Wawasan nusantara menurut GBHN 1998, adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Wawasan nusantara menurut Kelompok Kerja Wawasan
. 237 3. Pertambahan luas wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan memberikan potensi keunggulan positif yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun demikian juga mengundang potensi negatif yang bisa mengancam keutuhan bangsa dan wilayah. 4. Wawasan nusantara sebagai konsepsi kewilayahan selanjutnya dikembangkan sebagai konsepsi politik kenegaraan sebagai cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungan tempat tinggalnya sebagai satu kesatuan wilayah dan persatuan bangsa. 5. Esensi dari wawasan nusantara adalah kesatuan atau keutuhan wilayah dan persatuan bangsa, mencakup di dalamnya pandangan akan satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Wawasan nusantara merupakan perwujudan dari sila III Pancasila yakni Persatuan Indonesia 6. Rumusan wawasan nusantara termuat pada naskah GBHN 1973 sampai 1998 dan dalam Pasal 25 A UUD NRI 1945. Menurut pasal 25 A UUD NRI 1945, Indonesia dijelaskan dari apek kewilayahannya, merupakan sebuah negara kepulauan Archipelago State yang berciri nusantara. 7. Berdasar Pasal 25 A UUD NRI 1945 ini pula, bangsa Indonesia menunjukkan komitmennya untuk mengakui pentingnya wilayah sebagai salah satu unsur negara sekaligus ruang hidup lebensraum bagi bangsa Indonesia yang telah menegara. Ketentuan ini juga mengukuhkan kedaulatan wilayah NKRI di tengah potensi perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatisme, sengketa perbatasan antar negara, dan pendudukan oleh negara asing. G. Praktik Kewarganegaraan 8 Bacalah dengan seksama sebuah pemberitaan dari media terkait materi bab 8 berikut ini Selasa, 11 Februari 2014 1239 TNI Investigasi Nelayan Indonesia yang Ditangkap Papua Nugini Jakarta- Panglima Tentara Nasional Indonesia TNI Moeldoko mengatakan pihaknya saat ini sedang melakukan investigasi terhadap tertangkapnya nelayan Merauke di Papua Nugini. Setelah mengetahui duduk perkaranya, pemerintah kata Moeldoko, bisa mengajak Papua Nugini duduk bersama dan menyelesaikan masalah tersebut. Kita akan komunikasikan, kita harus tahu persis titik kejadiannya bagaimana, apakah di
– Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki ribuan pulau. Pulau-pulau terseut tersebar dan terpisah satu sama lain di perairan Indonesia. Hal inilah yang membuat persatuan dan kesatuan harus terus dijaga dan dilestarikan. Wawasan nusantara menjadi salah satu pandangan yang harus dimiliki oleh setiap rakyat Indonesia sebagai suatu kebanggaan terhadap bangsa sendiri. Dikutip dari buku Wawasan Nusantara 2020 oleh Sri Widayanti, wawasan nusantara adalah caa pandang bangsa Indonesia terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam mewujudkan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, sosial budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Sebagai sebuah konsep yang mengandung pemikiran penting, wawasan nusantara pastinya memiliki kedudukan dalam paradigma nasional. Baca juga Asas-Asas Wawasan NusantaraDisadur daru buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2016 karya Sarinah dan teman-teman, dijelaskan stratifikasi paradigma nasional, yaitu Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa, dan dasar negara, berkedudukan sebagai landasan idiil. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai landasan konstitusi negara, berkedudukan sebagai landasan konstitusional. Wawasan nusantara sebagai visi nasional, berkedudukan sebagai landasan visional. Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional, berkedudukan sebagai landasan konsepsi nasional. GBHN sebagai politik dan strategi nasional atau sebagai kebijaksanaan dasar nasional, berkedudukan sebagai landasan operasional. Dari stratifikasi tersebut diketahui bahwa wawasan nusantara dalam paradigma nasional berkedudukan sebagai landasan visional. Artinya, wawasan nusantara menjadi ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat Indonesia, agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Fungsi wawasan nusantara antara lain sebagai pedoman, motivasi, dorongan, serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan, dan perbuatan bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Baca juga Aspek Pancagatra dalam Wawasan Nusantara Tujuan wawasan nusantara Dilansir dari buku Kewarganegaraan & Masyarakat Madani 2019 karya Heri Herdiawanto dan kawan-kawan, tujuan wawasan nusantara yaotu mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakuat Indonesia, serta mengutamakan kepentingan nasional. Tujuan wawasan nusantara lainnya, yakni Mewujudkan kesatuan dan persatuan seluruh aspek kehidupan untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan bangsa dan negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Mewujudkan hubungan dengan dunia internasional berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial guna mendukung kepentingan nasional. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Bina Hukum Lingkungan P-ISSN 2541-2353, E-ISSN 2541-531X Volume 4, Nomor 2, April 2020 DOI DERIVASI KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945DERIVATION OF THE CONCEPT OF AN ARCHIPELAGIC STATE IN THE CONSTITUTION OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN 1945 Tahegga Primananda AlfathABSTRAK asal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada penambahan afiks “yang berciri nusantara” memberikan derivasi terhadap konsep negara kepulauan sebagaimana diatur dalam United Nations Conventions on The Law of The Sea Tahun 1982, bahwa ada ciri khusus bagi Indonesia dalam memaknai konsep negara kepulauan. Untuk membahas hal tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan sejarah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ratio legis derivasi konsep negara kepulauan dalam konstitusi Indonesia pada amandemen kedua sebagai penguatan kedaulatan negara dalam pembangunan wilayahnya harus berciri nusantara. Founding constitution sejak awal perumusan, menyatakan bahwa wilayah Indonesia memiliki ciri khusus, hal tersebut juga menjadi dasar logis deklarasi Juanda bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Maka, akibat hukum pembangunan wilayah yang tidak didasarkan atas ketentuan konstitusi, khususnya politik hukum negara kepulauan yang berciri nusantara, memiliki potensi inkonstitusional. Kerangka hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara. Kata kunci delegasi peraturan; konstitusi; negara kepulauan. ABSTRACT rticle 25A -The Constitution of the Republic of Indonesia in 1945. The addition of affixes "which was characterized by nusantara" certainly provided a derivation of the concept of an archipelagic state as stipulated in the United Nations Convention on the Sea 1982, that there were special characteristics for Indonesia in interpreting the concept of an archipelagic state. To discussed this, this research used a legal research method with statute approach, conseptual approach, and historical approach. The result of this research indicated that the ratio legis of derivation the consept of an archipelagic state in Indonesian constitution in the second amandement as strengthening the souverignty of country in development of its territory must be characterized by Nusantara. Founding constitution since the beginning of formulation, stated that the territory of Indonesia had special characteristics, it also became logical basic for the Juanda Declaration that Indonesia was archipelagic state. Thus, the legal consequences of regional development that were not based on constitutional provisions, especially the legal politics of archipelagic state that characterized by nusantara, had unconstitutional potensial. The legal framework of the unitary state of the Republic Indonesia was an archipelagic state that characterized by Nusantara. Keywords archipelagic state; constitution; regulatory delegation. Disampaikan pada Diskusi Paralel Seminar Nasional Pembangunan Wilayah Kepulauan yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadajaran bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Pemerintah Provinsi Maluku yang diselenggarakan pada tanggal 2 Juli 2019 Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, email taheggaalfath Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, email Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, email sukardi Indonesian Environmental Law Lecturer Association PEMBINA HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 217 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PENDAHULUAN ndonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Secara geografis kepulauan Indonesia terletak antara 5 54’ 08’’ bujur utara hingga 11 08’ 20’’ bujur selatan dan 95 00’ 38’’ sampai 141 01’ 12’’ bujur timur. Pengukuhan Indonesia sebagai negara kepulauan secara yuridis diatur dalam Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI 1945 bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Ketentuan dalam Pasal 25A UUD NRI 1945 tersebut dapat dimaknai sebagai kedaulatan yang dimiliki negara terhadap wilayah hukumnya untuk menentukan batas-batas dan hak-hak yang ditetapkan dengan undang-undang. Kedaulatan sovereignty berasal dari bahasa latin yaitu supranus yang berarti supreme yang tertinggi. Maka kedaulatan memiliki pengertian sebagai kekuasaan tertinggi dari setiap negara. Ciri dari kedaulatan adalah kelanggengan permanence, sifat tidak dapat dipisah-pisahkan indivisble, sifatnya sebagai kekuasaan tertinggi supreme, tidak terbatas dan lengkap complate. Jean Bodin menyatakan, kedaulatan merupakan sumber otoritas utama untuk menetapkan perkembangan konsepsi tentang kedaulatan, bahwa kedaulatan mampu melahirkan suatu yurisdiksi negara. Dengan yurisdiksi tersebut negara dapat mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara. Hukum Internasional menempatkan negara menjadi subyek dalam hal hak dan kewajibannya. Maka kedaulatan mengandung dua aspek, pertama, aspek internal yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi dalam wilayahnya. Kedua, aspek eksternal yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan dengan masyarakat internasional. Kedaulatan yang terdapat dalam Pasal 25 UUD NRI 1945 dalam menentukan wilayah hukum batas-batas dan haknya dapat dimaknai memiliki dua aspek. Pertama aspek internal, yaitu negara bebas menentukkan kewenangan dalam wilayahya, sistem pemerintahan, pengelolaan sumber daya, dan penegakan hukum yang didasarkan atas prinisip negara kesatuan dan prinsip negara kepulauan yang berciri nusantara. Kedua aspek eksternal, bahwa Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Cetakan ke-7, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2015, Sigit Riyanto, Kedaulatan Negara Dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer, Jurnal Yustisia Volume 1 Nomor 3 September – Desember 2012. Lesza Leonardo Lombok, Kedaulatan Negara Vis a Vis Keistimewaan dan Kekebalan Hukum Organisasi Internasional dalam Sebuah Intervensi Internasional, Jurnal Pandecta Volume 9 Nomor 1 Januari 2014. 218 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 kedaulatan internal dalam wilayah hukumnya tidak bertentangan dengan hukum internasional, dalam hal ini mengenai wilayah sebagai negara kepulauan. Negara tidak boleh keluar dari ketentuan yang diatur di dalam United Nation Convention on The Law of The Sea Tahun 1982 Konvensi Hukum Laut 1982.Berdasarkan Pasal 46 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, Negara Indonesia masuk sebagai klasifikasi sebagai negara kepulauan, yang memiliki arti bahwa negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau UUD NRI 1945, perumus konstitusi memberikan ciri khusus terhadap konsep negara kepulauan Indonesia, yaitu yang berciri nusantara. Penambahan klausul tersebut dapat dimaknai bahwa konsep negara kepulauan Indonesia tidak hanya sebatas sebagaimana dalam Konvensi Hukum Laut 1982, akan tetapi ada sebuah derivasi yang berupa kekhasan nusantara. Hal ini tentu memiliki konsekuensi pada akibat hukum yang ditimbulkan, apalagi pengaturannya ada dalam konstitusi. Negara kepulauan yang berciri nusantara sudah semestinya dijadikan sebagai acuan penyelenggara negara dalam menjalankan pemerintahan. Sebagai negara hukum, pengaktualisasian konstitusi adalah bentuk dari konstitusionalisme. Konstitusi dikatakan hidup jika mampu dijadikan sebagai landasan penyelenggaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan delegasi yang dibuat mengeksplorasi hubungan antara rancangan undang-undang yang dibuat dengan asas dan prinsip yang ada dalam konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, Konsep negara kepulauan yang berciri nusantara dalam UUD NRI 1945 harus jelas dalam memaknainya, agar pembuat undang-undang dan peraturan dibawahnya tidak berpotensi untuk salah mengartikan atau bahkan tidak menjalankan apa yang sudah diamanatkan oleh konstitusi. Dalam hal ini penafsiran diperlukan karena peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya dapat disusun dengan bentuk yang jelas dan tidak menimbulkan penafsiran kembali. Pasca reformasi, penafsiran terhadap konstitusi dapat dilakukan oleh siapapun, walaupun penafsiran akhir ada pada Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dikarenakan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tunggal penafsir undang-undang dasar The sole judicial interpreter of constitution. Untuk memaknai atau menafsirkan konstitusi dapat dilakukan dengan jalan melakukan penafsiran konstitusi, yaitu dengan jalan original Tahegga Primananda Alfath, Lilik Pudjiastuti, Dina Sunyowati, The Legal Framework of Green Governance in Archipelagic State Based on Constitution of The Republic Indonesia, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 358, prosiding 3rd International Conference on Globalization of Law and Local Wisdom ICGLOW, 2019. Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi Makna dan Aktualisasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2015, h. 137. Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 219 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 intent, ataupun non-original intent. Hakim Mahkamah Konstitusi ketika melakukan penafsiran dibebaskan untuk memilih, karena hal tersebut merupakan bagian dari prinsip kebebasan hakim dalam persidangan. Penafsiran konstitusi dengan jalan original intent maupun non-original intent, sering mengalami perdebatan oleh para ahli hukum tata negara. Terkadang hal itu membuat sebuah dikotomi besar dalam sebuah penyelesaian masalah problem solve didalam isu hukum yang akan dibahas. Originalism atau yang menggunakan metode original intent, memiliki pandangan bahwa hakim saat memutus perkara ketatanegaraan harus membatasi diri dan menegakkan aturan-aturan yang disebutkan secara jelas dalam konstitusi tertulis. Prof. I Dewa Gede Atmadja bahkan berpendapat bahwa, penafsiran konstitusi tidak boleh bertentangan dengan semangat original intent, karena hal itu untuk mengetahui maksud semula dirumuskan ketentuan-ketentuan aliran non-originalism berpendapat, bahwa pengadilan harus berani keluar untuk menegakkan norma-norma yang tidak dapat ditemukan secara tertulis dalam konstitusi. Chemerinsky berpendapat tentang alasan hakim tidak harus menggunakan original intent dalam melakukan penafsiran konstitusi, yaitu i perkembangan konstitusi dapat dilakukan melalui jalan penafsiran, tidak selamanya dilakukan dengan cara melakukan amandemen; ii keberagaman latar belakang dari pembentuk konstitusi, sehingga dimungkinkan dapat digali alasan logis dari perdebatan dalam penyusunan konstitusi. Kedua metode penafsiran tersebut, sebenarnya sama-sama dibutuhkan didalam menjawab permasalahan hukum secara komperhensif, dan hakim sebaiknya dituntut demikian. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan melakukan analisis terhadap pertama, ratio legis konsep negara kepulauan yang terdapat dalam Pasal 25A UUD NRI 1945. Kedua, derivasi konsepsi negara kepulauan yang berciri nusantara terhadap peraturan perundang-undangan. Untuk itu penelitian ini memiliki tujuan memberikan yang seyogianya tentang konsep negara kepulauan yang berciri nusantara sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945, serta memberikan argumentasi hukum tentang akibat hukum atas derivasi konsep negara kepulauan yang berciri nusantara terhadap delegasi peraturan. I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, 2010, Erwin Chemerinsky, Constitutional Law Principles and Policies, Aspen Publisher, New York, 2002, h. 23-25. 220 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 METODE PENELITIAN etode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum legal research. Penelitian hukum ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi mengenai apa yang seyogianya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong, sehingga hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung hukum selalu menggunakan pendekatan, yang digunakan untuk mendapatkan beberapa aspek mengenai isu hukum yang dibahas agar ditemukan jawabannya. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan statue approach, pendekatan konsep conseptual approach, dan pendekatan sejarah historical approach. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang dimaksud berupa legislasi dan regulasi. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa publikasi ilmiah yang terkait atau membahas tentang hukum, yaitu buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, desertasi hukum, dan jurnal-jurnal hukum. Disamping itu juga kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. PEMBAHASAN Sejarah Munculnya Konsepsi Negara Kepulauan engertian kepulauan berasal dari bahasa itali yaitu archipelagus, archi yang berarti penting, dan pelagus berarti laut. Sehingga secara harfiah mengandung pengertian laut yang penting. Pengertian tentang kepulauan dari sudut pandang geografis yaitu sebuah formasi dari gugusan pulau-pulau yang menjadi satu kesatuan, sedangkan dalam sudut pandang bahasa kepulauan tidak hanya diartikan sebagai kelompok pulau-pulau, tetapi juga laut yang diselingi dengan beberapa kepulauan sudah sejak lama dibicarakan dalam masyarakat internasional, khususnya dalam penyusunan kesepakatan mengenai hukum laut di Konferensi Hukum Laut Internasional yang pertama pada tahun 1930. Pada saat itu, Inggris dan Australia tidak memiliki pandangan tentang konsepsi kepulauan, mereka berpendapat bahwa setiap pulau haruslah mempunyai laut wilayah sendiri. Sebaliknya beberapa negara lainnya, salah satunya Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-5, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, h. 35 Indien Winarwati, Konsep Negara Kepulauan Prespektif Hukum Laut dan Penetapan Garis Batas Negara, Setara Press, Malang, 2016, Amiek Soemarmi, Erlyn Indarti, Pujiyono, Amalia Diamantina, Konsep Negara Kepulauan dalam Upaya Perlindungan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, Jurnal Masalah-Masalah Hukum Jilid 46 Nomor 3, Juli 2019. Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 221 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Jepang, yang menyatakan bahwa suatu gugusan pulau dapat dianggap sebagai suatu kepulauan, dan karena itu sebagai suatu kesatuan, jika jarak antar pulau tidak melebihi dari 10 mil laut. Muncul dua macam kepulauan archipelago yang telah dikembangkan, yaitu coastal archipelago dan mid-ocean archipelago. Coastal archipelago merupakan apabila paling kurang ada dua pulau terletak tidak lebih dari 10 mil dari pantai dalam hal ini laut wilayah negara pantai diukur dari garis dasar yang menghubungkan pulau-pulau dengan daratan. Sedangkan mid-ocean archipelago, apabila ada sekurang-kurangnya tiga pulau di tengah laut yang jarak antara satu dengan yang lainnya tidak lebih dari 10 mil, dalam hal ini batas laut wilayah juga dapat ditarik dari garis-garis dasar yang menghubungkan ketiga pulau tersebut. Pada akhirnya beberapa pendapat tersebut tidak disetujui oleh peserta konferensi. Kesepakatan yang terjadi hanya perairan yang terletak di sebelah dalam dari garis-garis dasar umumnya dianggap sebagai laut wilayah, bukan sebagai perairan pedalaman. Masalah tentang kepulauan archipelago muncul kembali dalam persiapan Konferensi Hukum Laut Internasional yang Kedua, tidak terjadi kesepakatan apapun dalam konferensi tersebut. International Law Commision ILC tahun 1952 menyarankan agar gugusan pulau-pulau yang jarak antara pulaunya lebih dari 10 mil dianggap sebagai kepulauan, tetapi kedudukan air yang terletak disebelah dalam garis-garis dasarnya dianggap sebagai perairan pedalaman. Dan pada tahun 1954 ILC menyarankan agar archipelago harus berdiri sekurang-kurangnya dari tiga pulau yang jarak antara masing-masingnya tidak lebih dari 5 mil, dengan kecualian satu jarak 10 mil diperkenankan untuk menutup apa yang dinamakan dengan fictious bay, yaitu apabila susunan pulau-pulau sedemikian rupa sehingga membuat suatu lengkungan yang berbentuk seperti teluk. Konferensi Hukum Laut PBB yang pertama dalam tahun 1958 juga dibicarakan mengenai pengaturan terhadap kepulauan, delegasi filipina menyarankan agar gugusan pulau-pulau tersebut haruslah cukup dekat satu sama lain dan secara sejarah telah dianggap sebagai satu kesatuan. Lebih lanjut kemudian disarankan bahwa garis-garis dasar yang menghubungkan pulau-pulau mengikuti liku-liku dari gugusan pulau-pulau. Sama halnya dengan Filipina, Indonesia dalam konferensi tersebut juga meminta agar kepulauan diberikan special regime, karena kepulauan adalah keunikan Noor Malia Putri, Archipelagic State Responsibility on Armed Robbery a Sea, Indonesian Journal of International Law, Volume 14 Number 4, 2017. Nugroho Wisnumurti, Rezim Hukum Negara Kepulauan, dalam diakses pada tanggal 31 Januari 2020. 222 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 mendukung usul yang menginginkan dipeliharanya kesatuan kepulauan dan lebar laut wilayah diukur dari garis-garis yang menghubungkan pulau-pulau terluar dalam kepulauan tersebut. Kesamaan gagasan antara Indonesia dengan Filipina ini dilatarbelakangi karena keduanya merupakan negara yang memiliki gugusan pulau-pulau, serta latar belakang sejarah yang tidak jauh berbeda. Perdebatan mengenai kepulauan akhirnya kemudian disepakati dan tertuang dalam United Nation Convention on The Law of The Sea Tahun 1982 Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 46 huruf b yang menyatakan bahwa “Archipelago means a group of islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters, and other natural features from an intrinsic geographical, economic, and political entity, or which historically have been regarded as such.” Pengertian kepulauan ini tidak lepas dari gagasan negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, dan Fiji. Terlebih pada klausula “or which historically have been regarded as such” yang diperjuangkan oleh Indonesia dan Filipina. Karena dua negara tersebut, tidak bisa mengenyampingkan faktor sejarah dalam sebuah konsepsi kepulauannya. Indonesia dan Filipina mendasarkan prinsip kepulauan kepada pertimbangan-pertimbangan keamanan, politis, ekonomis, geografis, dan historis. Sedangkan Fiji lebih menekankan kepada pertimbangan ekonomis dan geografis. Berdasarkan hal tersebut maka faktor sejarah merupakan faktor alternatif, bukan faktor konstitutif. Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 tersebut tidak memberikan pengertian yang sama antara archipelago dengan archipelago state. Karena archipelago pada dasarnya hanyalah konsepsi geografis, sedangkan archipelagic state adalah pengejahwantahan dari konsepsi geografis tersebut kepada suatu konsepsi politis. Konsepsi archipelagic state negara kepulauan merupakan sebuah upaya untuk mempersatukan bangsa-bangsa melalui faktor geografis, selain itu juga dapat dijadikan sebagai dasar-dasar kesatuan sebuah bangsa dan negara. Konsepsi negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 pasal 46 huruf a dinyatakan bahwa “Archipelagic state means a state constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands.” Dari hal tersebut dapat dimaksudkan bahwa negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau yang lain. Selain itu negara kepulauan merupakan suatu negara yang wilayahnya berada di tengah-tengah laut. Negara yang wilayah utamanya ada di benua walaupun memiliki kepulauan di sekelilingnya tidak dapat mengklaim sebagai negara kepulauan. Dengan demikian, tidak semua negara yang memiliki kepulauan dapat dikatakan Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 223 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai negara kepulauan archipelagic state. Lahirnya konsepsi negara kepulauan di dunia internasional tidak lepas dari sebuah jalan panjang gagasan masyarakat Indonesia pada saat itu. Pada tanggal 13 Desember 1957 dinyatakan “Pengumuman Pemerintah tentang Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia” yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Ir. H. Juanda, yang kemudian kita kenal dengan “Deklarasi Juanda”. Dengan pengumuman tersebut Pemerintah Indonesia mengubah ketentuan Ordonansi Laut Territorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939 Territoriale zee an Maritieme Kringen Ordonantie TZMKO, 1939, Stbl. 1939 No. 442. Sebagaimana telah ditambah dengan Stbl. 1949 No. 113. Deklarasi Juanda ini disampaikan menjelang diselenggarakannya Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958. Substansi yang disampaikan dalam Deklarasi Juanda tersebut meliputi 1. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sifat dan corak sendiri. 2. Didalam hal keutuhan territorial dan melindungi kekayaan Negara Indonesia, semua kepulauan serta laut terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat. 3. Penentuan batas lautan territorial sebagaimana di atur dalam TZMKO tidak sesuai, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri. 4. Pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia. 5. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. 6. Penentuan batas lautan territorial diukur dengan garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia. Reaksi masyarakat Internasional banyak yang tidak sepakat dengan konsepsi negara kepulauan yang disampaikan oleh Indonesia tersebut, khususnya negara-negara maritim. Akan tetapi Indonesia tetap teguh dengan gagasannya sehingga Deklarasi Juanda ini 224 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 kemudian dijadikan sebagai produk hukum yaitu Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960. Konsepsi negara kepulauan sering dianggap oleh negara-negara maritim bertentangan dengan kepentingan umat manusia karena konsepsi tersebut mengambil bagian yang besar dari laut yang dahulu dianggap sebagai laut bebas dan yang terbuka bagi seluruh negara, sebagaimana konsepsi laut bebas yang dikembangkan oleh Grotius. Akan tetapi pada kenyataannya konsepsi tersebut malah digunakan sebagai tameng bagi negara-negara maritim yang telah maju teknologinya untuk mengambil sumber daya laut yang ada di daerah negara-negara kepulauan yang sebagain besar merupakan negara berkembang. Konsepsi negara kepulauan justru mampu melindungi negara berkembang dari keganasan negara maju dalam mengeksploitasi sumberdaya lautnya. Itulah kenapa akhirnya oleh Indonesia bersama dengan negara Filipina, Fiji dan Mauritius diusulkan untuk dapat disepakatinya konsepsi negara kepulauan dalam Kenovensi Hukum Laut Tahun 1982. Pada pokoknya prinsip-prinsip negara kepulauan yang disepakati adalah, i tentang definisi dari negara kepulauan secara hukum dan dapat menarik garis pangkal lurus; ii bahwa negara kepulauan berdaulat atas perairan yang terdapat di dalam garis pangkal lurus yang ditarik dari pulau-pulau terluar; dan iii menegaskan bahwa lalu lintas damai dari kapal asing melalui perairan kepulauan akan diperkenankan sesuai dengan undang-undang nasional dan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional. Konsepsi Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI 1945 onsepsi negara kepulauan diatur dalam konstitusi Republik Indonesia pasca amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 UUD 1945, tepatnya pada amandemen kedua Bab mengenai Wilayah Negara diatur. dan pada amandemen keempat klausul Pasal 25A disepakati. Sebelumnya konsepsi negara kepulauan Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia UU No. 6 Thn. 1996. Pasal 2 UU No. 6 Thn. 1996 menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan, yang berarti segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan negara Republik Indonesia. Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 225 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pada Rapat PAH I BP MPR Ke-11, 4 Februari 2000 mulai dibahas dalam proses amandemen UUD 1945 tentang perlunya wilayah negara diatur atau tidak dalam konstitusi. Beberapa perumus amandemen konstitusi menyepakati bahwa perlu dimasukkan wilayah negara dalam konstitusi, hal tersebut didasarkan bahwa syarat konstitutif sebagai sebuah negara meliputi adanya wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat. Salah satu pendapat dari Sutjipto dari F-UG alasan kenapa wilayah negara diatur dalam UUD 1945 adalah karena tentang wilayah penting untuk menjaga keutuhan wilayah. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi garis bawah alasan penting dicantumkannya wilayah dalam konstitusi. Pertama, Negara memiliki ketegasan tentang kedaulatan wilayah, yang itu dapat meningkatkan kebanggan nasional. Kedua, dengan pencantuman wilayah tidak ada kelemahan yang bisa digunakan dalam proses disintegrasi yang disebabkan karena biasnya wilayah yang dimiliki. Ketiga, dengan adanya batas wilayah yang lebih jelas, negara memiliki dasar di dalam kerangka mengadakan perjanjian-perjanjian, baik bilateral maupun multilateral atau internasional. Walaupun semua fraksi telah sepakat dengan dimasukkan wilayah negara dalam konstitusi, akan tetapi muncul perdebatan yang sangat panjang tentang klasul norma yang dituliskan untuk menggambarkan bagaimana posisi wilayah negara Indonesia, kerena pada prinsipnya tentang wilayah negara Indonesia tidak mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam hukum internasional. Jika Indonesia memiliki konsepsi sendiri yang bertentangan dengan apa yang disepakati dalam hukum internasional dalm hal ini adalah Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 tentu akan berakibat hukum, dan mungkin memiliki sengketa dengan negara lain. Untuk itu para perumus amandemen konstitusi sangat berhati-hati dalam menentukan klausul norma yang akan digunakan dalam amandemen UUD 1945. Pada rapat Panitia Ad Hoc I BP MPR ke-48, 27 Juni 2000. F-Reformasi mengusulkan adanya sebuah gagasan baru yang disebut dengan Benua Maritim Indonesia, dimana hal tersebut didasarkan atas pendapat dari para guru besar geologi dan guru besar sejarah kebudayaan ITB yang menyatakan bahwa sebelum air laut naik, Indonesia adalah satu benua, karena memiliki kesamaan iklim dan tata laut, kesamaan tata kerak bumi, dan kesamaan biota biologi dan kesamaan sosial antropologi. Selain itu pencantuman istilah Benua Maritim Indonesia dinilai akan dapat menyadarkan kebesaran bangsa Indonesia, dan juga untuk mencegah keinginan-keinginan wilayah untuk memisahkan diri. Akan tetapi kemudian gagasan ini dibantah oleh I Dewa Gede Palguna dari F- PDI Perjuangan, bahwa konsep Benua 226 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 Maritim Indonesia adalah sebagai konsepsi politis bukan konsepsi hukum. Pandangan dari F-TNI/ POLRI menyatakan bahwa apa yang akan diatur dalam konstitusi mengenai wilayah negara tidak boleh lepas dari sebuah tekad untuk tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yang tidak menghendaki adanya negara dalam negara, bahwa wilayah NKRI adalah tetap sebagaimana termuat dalam konsepsi wawasan nusantara yang telah di praktekkan sejak diumumkan pada tahun 1997. Kemudian di dalam wilayah negara meskipun rumusannya telah disepakati dan diatur, dibuat sebaik dan secermat mungkin sehingga tidak merugikan bagi bangsa Indonesia di masa kini ataupuan masa depan. Hendaknya juga tidak menyebabkan ketersinggungan maupun keberatan dari negara lain, khususnya negara tetangga. Pendapat ini setidaknya memberikan negasi bahwa konspesi mengenai Benua Maritim Indonesia tidak tepat dirumuskan sebagai sebuah wilayah negara Republik rapat berikutnya kemudian muncul klausul yang ditawarkan oleh Happy Bone Zulkarnaen dari F-PG yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut prinisp negara kepulauan/negara nusantara yang wilayahnya merupakan kesatuan wilayah darat, udara, laut, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya dan seluruh kekayaan alam dan benda-benda yang terkandung di dalamnya, yang batas-batasnya ditetapkan dengan undang-undang”. Usulan itu kemudian ditanggapi oleh Handy Tjaswadi dari F-TNI/Polri dengan “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayahnya merupakan satu kesatuan gatra wilayah darat, laut, udara sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang”.Dari dua pendapat tersebut kemudian didengarkan pendapat dari ahli, yakni Hasjim Djalal ahli hukum laut menjelaskan penjelasan tentang wilayah khususnya tentang klausul pencantuman nusantara, yaitu sebagai berikut “…Yang kedua, benda-benda ini yang sesungguhnya di dalam konvesi hukum laut dimasukan ke dalam konsep souvereignity. Bahwa dengan souvereignity itu kita berada, kita mempunyai kewenangan atas benda-benda itu, tapi sekarang dia menjadi menonjol sekali Pak, terutama berkaitan kapal-kapal karam dan benda-benda dasar laut yang selama ini tidak terlalu menjadi perhatian kita. Di dalam konsep yang original mengenai Tim Penyusun Mahkamah Konstutusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku II Sendi-Sendi/Fundamental Negara, edisi revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, h. 568. Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 227 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 nusantara itu, Pak, yang termasuk konsepnya termasuk kekayaan alam, tapi di dalam hukum benda-benda yang karam ketemu di dasar laut, tidak termasuk dalam konsep kekayaan alam. Namun demikian kita boleh masukkan dalam konsep kewenangan souvereignity ini. Karena dalam konsep kedaulatan negara sudah memang termasuk juga benda- benda yang kita temukan di dalam kawasan negara kita itu. Jadi itulah makanya saya diperingatkan kemarin oleh beberapa kawan agar kita tidak membatasi kedaulatan itu hanya pada kekayaan alam, tapi juga memasukkan benda- benda yang justifikasinya juga memang ada. Nah, kemudian ada kata perbedaan di situ, kata letak. Kalau bisa tadi ditambahkan, saya tidak memakai kata letak itu. Karena apa sebabnya? Karena negara satu hal yang tumbuh, dan tumbuh itu belum tentu tumbuh di satu tempat dan membesar di situ. Dalam case Indonesia sampai sekarang Pak, yang tumbuh di tempat itu dan membesar di situ pada waktu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu adalah seluruh wilayah darat tambah tiga mil tidak termasuk wilayah laut yang besar, tidak termasuk udaranya, tidak termasuk kekayaan alamnya, juga tidak termasuk tanah di bawah laut itu. Tapi dia kemudian tumbuh tahun 1957 dan kemudian tahun 1982 wilayah itu diakui pula lagi punya anak cucunya di luar yaitu zona ekonomi dan landas kontinen yang tidak merupakan wilayahnya tetapi seluruh kekayaan alamnya diakui merupakan wewenang dari negara-negara itu. Nah, itu kita tumbuh dalam satu tempat, begitu Pak Ketua. Tapi banyak negara yang tumbuh tidak dalam satu tempat, Pak. Norwegia misalnya mengklaim kedaulatan wilayah atas sebagian dari Antartika, di Kutub Selatan, Australia misalnya mengklaim di Antartika juga, Perancis mempunyai wilayah di Pasifik, Perancis mempunyai wilayah di Samudra India, dia bisa tumbuh kemana-mana begitu dan oleh karena itu saya tidak terlalu melihat pengertian letak substansial begitu ya, dalam konteks ini tapi pengertian batasnya ditetapkan dengan undang-undang itu memang cukup substansial. Karena dengan tetangga- tetangga kita harus menetapkan perjanjiannya kemudian disahkan oleh Bapak-Bapak DPR kan, supaya perjanjian itu bisa berlaku itu dengan undang-undang namanya. Jadi kita, Bapak Ketua, kita juga tidak boleh lupa saya pernah disuruh memperjuangkan dulu supaya Indonesia juga memperjuangkan kedaulatan Indonesia atas GeoStationary Orbit di angkasa luar sana. kilometer di atas permukaan dasar laut, di atas permukaan bumi. Nah, perjuangan itu belum pernah kita cabut, walaupun kemudian tidak kita lanjutkan ya, secara intensif karena sangat sulit sedih, memperjuangkannya. Jadi saya pikir istilah letak mungkin akan memberikan pembatasan- pembatasan begitu ya, yang 228 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 tidak memungkinkan tumbuh dan berkembangnya, apanya namanya itu masa depan bangsa begitu dari segi ke wilayahnya ini. Dengan kita mengatakan yang batasnya ditetapkan undang-undang, saya kira kita cukup reasonable dan kita cukup realistik, tanpa kita memberikan tekanan-tekanan. Begitu kira-kira penjelasannya, Pak ya Pak. Daripada perumusan-perumusan yang sudah dikemukakan oleh Bapak-Bapak ini. Nah, satu elemen yang sangat senang melihatnya bahwa Bapak-Bapak sekarang sudah menerima bahwa kesatuan kewilayahan itu menganut 5 prinsip pokok itu, darat, udara, laut, tanah di bawahnya dan dasarnya dan keseluruhan kekayaan alam dan benda-benda hidup.”Lebih lanjut kemudian pendapat dari Hasjim Djalal,“…Karena tidak semua negara kepulauan itu menjadi satu nusantara. Dalam konvensi juga diakui itu bahwa negara archipelagic state itu bisa terjadi dari sekelompok archipelago dan pulau-pulau yang lain. Contohnya Fiji, Pak. Fiji itu kelompoknya yang besar adalah nusantara begitu, satu. Tapi dia punya pulau-pulau yang lain. 300 mil diluar, 400 mil di Pasific, itu. Bisa terjadi. Menurut saya itu bukan nusantara dia itu. Dia hanya kepulauan aja begitu aja ya. Archipilagic state aja. Yang Indonesia itu, tidak ada satu pulau pun yang terletak di luar nusantara-nya. Malah kita bayangkan dulu rumusan nusantara itu untuk keperluan memenuhi kebutuhan Indonesia itu. Nah, apakah lantas itu dirumuskan dengan garis miring atau yang berciri. Tapi bahwa nusantara itu masuk kata nusantara itu sangat vital kita masukkan. GBHN saja berkali-kali menyebut nusantara kok malah MPR tidak mau menyebut. GBHN kan dibuat oleh MPR juga di masa yang lalu. Nah, oleh karena itu kata nusantara itu di mana-mana masuk di dalam GBHN-GBHN sebelumnya.” Dari apa yang telah dibahas dalam sidang MPR didalam perumusan negara kepulauan yang berciri nusantara yang terdapat di Pasal 25A UUD NRI 1945. Memberikan makna bahwa konsepsi negara kepulauan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia adalah konsepsi sebagaimana yang telah disepakati oleh masyarakat internasional dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, yang berkaitan dengan batas-batas wilayah, dan pola interaksi internasional perihal aturan laut. Akan tetapi Indonesia memiliki kekhususan dalam memaknai konsepsi negara kepulauan tersebut yang lebih dari Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 yaitu wawasan nusantara. Yang hak ini merupakan bagian dari kedaulatan negara dalam mengatur dirinya kedaulatan internal. Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 229 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kedaulatan internal atau yurisdiksi teritorial dalam hukum internasional memberikan hak dan kewenangan sepenuhnya kepada setiap negara untuk mengatur masalah dalam negerinya sendiri, yaitu masalah dan hal-hal yang ada di dalam batas-batas wilayahnya, yang meliputi wilayah daratan udara, air, dan dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di bawah Nusantara dan wawasan nusantara lahir dari adanya Deklarasi Juanda. Wawasan nusantara sebagaimana dimaksud dalam negara kepulauan yang berciri nusantara yaitu asas kenusaan archipelago yang tunggal, sedang keluar asas antara in between principle, yang menempatkan Indonesia dalam posisi silang dunia, hingga mewujudkan Indonesia Raya dalam Jalan Silang Dunia. Wawasan nusantara hasil pengejawantahan dari tingkah laku yang berdasarkan atas falsafah dan ideologi Pancasila serta kondisi geografis wilayah tanah air yang spesifik berwujud kepulauan dengan menciptakan tanggung jawab, dan motivasi bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional. Sehingga wawasan nusantara ini menghasilkan sebuah doktrin yang diwujudkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan nusantara yang dalam kesemestaannya merupakan satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan satu kesatuan pertahanan keamanan dalam proses pemekaran bangsa menuju tercapainya cita-cita bangsa dan tujuan nasionalnya. Jika ditelusur dari Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, dapat dipahami apa yang dimaksudkan dengan wawasan nusantara itu, yaitu i perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, dalam arti bahwa kesatuan wilayah nasional dengan isi kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal milik bersama bangsa; ii Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya, dalam arti bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, peri kehidupan bangsa harus merupakan kehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata, seimbang serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan bangsa; iii Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi, dalam arti bahwa kekayaan wilayah nusantara baik potensiil maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh tanah air; iv Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan dan keamanan, dalam arti bahwa Indien Winarwati, Kris Wijoyo Soepandji dan Muhammad Farid, Konsep Bela Negara dalam Prespektif Ketahanan Nasional, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 48 Nomor 3, 2018. 230 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 ancaman terhadap satu pulau atau daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara, dan tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan bangsa dan negara. Derivasi Konsepsi Negara Kepulauan yang Berciri Nusantara terhadap Peraturan Perundang-undangan onsepsi negara kepulauan yang berciri nusantara yang diatur dalam Pasal 25A UUD NRI 1945 setidaknya akan memiliki akibat hukum dalam peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Konsep peraturan perundang-undangan tersebut menurut Peter Mahmud Marzuki meliputi legislasi dan regulasi. Rene Seerden menggambarkan the hirarchy of generally applicable regulation sebagai berikutPeter Mahmud Marzuki, Op. Cit. h. 97. Rene Seerden dan Frits Stroink, Administrative Law of the European Union, its mamber states and the United States A comparative Analysis, Intersentia Uitgevers Antwerpen-Groningen, 2002, h. 154, dalam Sukardi, Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah, Genta Publishing, Yogyakarta, 2016, h. 23. Erga Omnes Treaty Provisions General Administrative orders/ Crown Decrees Municipal Ordinance, Ordinances issued by water authorities Ordinances issued by product corporations and business corporations Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 231 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berdasarkan teori yang disampaikan oleh Rene Serdeen tersebut Penetapan wilayah batas-batasnya dan hak-haknya terhadap lingkup kepulauan yang diatur dengan undang-undang sebagaimana amanat konstitusi Pasal 25A UUD NRI 1945, haruslah sesuai dengan wawasan nusantara sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Konsep wawasan nusantara merupakan meta yuridis dari norma yang terdapat dalam konstitusi, dimana kemudian meta dari meta yuridisnya merupakan Pancasila. Derivasi konsepsi negara kepulauan yang berciri nusantara dalam penelitian ini dibatasi dengan menganalisis salah satu undang-undang yang setidaknya harus didasarkan atas konsepsi negara kepulauan yang berciri nusantara yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 23 Tahun 2014, yang dalam hal ini akan lebih dispesifikkan berkaitan dengan kewenangan terhadap pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintahan daerah di Indonesia dijalankan atas dasar desentralisasi. secara teoritis Indonesia tidak menganut konsep negara yang sentralistik adalah karena wilayah negara Republik Indonesia sangat luas yang meliputi banyak kepulauan yang besar dan kecil, maka tidak mungkin segala sesuatu akan diurus seluruhnya oleh pemerintah yang berkedudukan di ibukota negara. Dalam perkembangannya, konsep desentralisasi yang dianut oleh Indonesia saat ini dikenal dengan sebutan desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris ini juga memperhatikan kondisi geografis dari Indonesia khususnya yang merupakan negara dilihat dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2014 tidak menempatkan Pasal 25A UUD NRI 1945. Padahal landasan sosiologis undang-undang ini bertujuan untuk efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Pasal 1 Angka 19 UU No 23 Tahun 2014 ini juga memberikan pengertian tentang daerah provinsi yang berciri kepulauan. Bab V Undang-undang in mengatur tentang kewenangan daerah provinisi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan. UU No. 23 Tahun 2014 memberikan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kelautan yang Kadek Cahya Susila Wibawa, Penegasan Politik Hukum Desentralisasi Asimetris dalam Rangka Menata Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di Indonesia, Administrative Law and Governance Journal, Volume 2 Issue 3, Agustus 2019. 232 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 dalam penyelenggaraannya hanya dibagi atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi saja. hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 14 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam bidang kelautan, jika dilihat dari sudut pandang UU No. 23 Tahun 2014 masuk dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren, lebih spesifiknya urusan pemerintahan pilihan, yang mana dalam urusan pemerintahan tersebut dibagi atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan memperhatikan beberapa prinsip, yakni prinsip akuntabilitas, prinsip efisiensi, prinsip eksternalitas, prinsip kepentingan strategis nasional. Pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari pemanfaatan sumber daya kelautan pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan yang meliputi perikanan, energi dan sumber daya mineral, sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, sumber daya alam non konvensional. Atas dasar kewenangan yang dimilliki dan cakupan dari sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang selanjutnya disingkat SDP3K yang cukup luas maka disinilah letak peran besar dari pemerintah provinsi dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil demi terciptanya pengelolaan yang optimal dalam mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, oleh karenannya pengelolaan dibagi atas 3 tiga tahapan, yakni perencanaan, pengelolaan, pengawasan dan pengendalian. Yang dipetakan berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait, yang dalam tahapan-tahapan tersebut terdapat peran-peran sentral dari pemerintahan daerah provinsi dalam upaya pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika dilihat dari pengaturan-pengaturan yang berhubungan dengan kelautan dalam UU No. 23 Tahun 2014, Pengakuan atas adanya daerah provinisi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan walaupun telah disebutkan dalam undang-undang, akan tetapi nyatanya belum memiliki latar belakang konsepsi negara kepulauan yang berciri nusantara. Maka dalam hal ini perlu dilakukan kembali sinkronisasi dan harominasi UU No 23 Tahun 2014 terhadap UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan UUD NRI 1945 sebagai dasar hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memuat aturan-aturan dasar yang dapat digunakan dalam pengaturan hukum daerah kepulauan. Pasal 25A UUD NRI 1945 harus dijadikan sebagai rujukan utama dalam pengaturan daerah kepulauan, karena karakteristik dan permasalahan yang sering terjadi di daerah Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 233 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepulauan, seperti i luas wilayah laut yang lebih besar daripada daratan; ii penduduk wilayah kepulauan bersifat relatif sedikit dan penyebarannya tidak merata; iii komunitas-komunitas di wilayah kepulauan tersegregasi dalam pemukiman menurut territorial suatu pulau; iv ketersediaan sumberdaya alam relatif beragam; v ditentukan oleh tingkat isolasi goegrafis dengan keunikan habitat dan keanekaragaman biotik; vi dari segi ekonomi umumnya terbatas pada skala kecil, serta belum didukung oleh jaringan distribusi pemasaran yang memadai vii sumber daya lingkungan kecil, rentan terhadap perubahan, dan rawan bencana alam; viii terdapat potensi keanekaragaman hayati darat dan perairan disekitar pulau-pulau kecil; ix hampir semua berada dalam wilayah perbatasan negara yang memiliki pulau kecil terluar. Pasal 25A UUD NRI 1945 adalah unsur esensial dari pembentukan peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi. Karena makna dari norma yang terdapat dalam pasal tersebut, mengejawantahkan wawasan nusantara, yang didasari atas falsafah Pancasila. Pancasila dalam konsep peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan suatu sumber dari segala sumber hukum groundnorm. Maka pemaknaan terhadap Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 UUD NRI 1945 tidak lepas dari Pasal 25A UUD NRI 1945, Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan yang Berciri Nusantara. Sehingga dalam hal penguasaan negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945 juga tidak boleh lepas dalam konsepsi negara kepulauan yang berciri nusantara. PENUTUP Kesimpulan atio legis konsep negara kepulauan yang terdapat dalam Pasal 25A UUD NRI 1945 adalah konsepsi sebagaimana yang telah disepakati oleh masyarakat internasional dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, yang berkaitan dengan batas-batas wilayah, dan pola interaksi internasional perihal aturan laut. Akan tetapi Indonesia memiliki kekhususan dalam memaknai konsepsi negara kepulauan tersebut yang disebut sebagai berciri nusantara yaitu memiliki doktrin wawasan nusantara. Yang hal ini merupakan bagian dari kedaulatan negara dalam mengatur dirinya kedaulatan internal. Johanis Leatemia, Substansi Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-41 Nomor 2 April-Juni 2011. 234 Bina Hukum Ligkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 Derivasi konsepsi negara kepulauan yang berciri nusantara terhadap peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, belum diakomodir dengang baik. Pasal 25A UUD NRI 1945 tidak dijadikan sebagai konsideran didalam pembentukan undang-undang. Padahal didalamnya diatur mengenai daerah provinsi kepulauan. Saran eyogianya perlu dirumuskan kembali doktrin wawasan nusantara sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip negara kepulauan dari Indonesia. Seyogianya perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan tentang kelautan dan atau kepulauan dengan prinsip negara kepulauan yang berciri nusantara. DAFTAR PUSTAKA Buku Alfath, Tahegga Primananda, Lilik Pudjiastuti, Dina Sunyowati, The Legal Framework of Green Governance in Archipelagic State Based on Constitution of The Republic Indonesia, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 358, prosiding 3rd International Conference on Globalization of Law and Local Wisdom ICGLOW, 2019; Atmadja, I Dewa Gede, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, 2010; Chemerinsky, Erwin, Constitutional Law Principles and Policies, Aspen Publisher, New York, 2002; Manan, Bagir dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi Makna dan Aktualisasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2015; Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan ke-5, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009; Sukardi, Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah, Genta Publishing, Yogyakarta, 2016; Tim Penyusun Mahkamah Konstutusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku II Sendi-Sendi/Fundamental Negara, edisi revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010; Winarwati, Indien, Konsep Negara Kepulauan Prespektif Hukum Laut dan Penetapan Garis Batas Negara, Setara Press, Malang, 2016. Tahegga Primananda Alfath, Radian Salman, Sukardi 235 Derivasi Konsep Negara Kepulauan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jurnal Leatemia, Johanis, Substansi Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-41 Nomor 2 April-Juni 2011; Lombok, Lesza Leonardo, Kedaulatan Negara Vis a Vis Keistimewaan dan Kekebalan Hukum Organisasi Internasional dalam Sebuah Intervensi Internasional, Jurnal Pandecta, Volume 9 Nomor 1 Januari 2014; Putri, Siti Noor Malia, Archipelagic State Responsibility on Armed Robbery a Sea, Indonesian Journal of International Law, Volume 14 Number 4, 2017; Soemarmi, Amiek, Erlyn Indarti, Pujiyono, Amalia Diamantina, Konsep Negara Kepulauan dalam Upaya Perlindungan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46 Nomor 3, Juli 2019; Soepandji, Kris Wijoyo dan Muhammad Farid, Konsep Bela Negara dalam Prespektif Ketahanan Nasional, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 48 Nomor 3, 2018; Riyanto, Sigit, Kedaulatan Negara Dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer, Jurnal Yustisia, Volume 1 Nomor 3 September – Desember 2012; Wibawa, Kadek Cahya Susila, Penegasan Politik Hukum Desentralisasi Asimetris dalam Rangka Menata Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di Indonesia, Administrative Law and Governance Journal, Volume 2 Issue 3, Agustus 2019. Sumber Lain Wisnumurti, Nugroho, Rezim Hukum Negara Kepulauan, dalam diakses pada tanggal 31 Januari 2020. Ida FaridaHerman KatiminThe widespread use of illegal fishing capture equipment in the form of drag nets and drag nets which harm and endanger the sustainability of fish resources and the environment in Indonesian waters, cannot be separated from the act of making, producing, and trading. The research method used is a sociological juridical approach which is qualitative in nature, where this research uses a normative approach with a sociological approach as support. Based on the results of the research, criminalizing the act of making, producing, and trading becomes a crime, formulated in article 85A, which reads "Whoever deliberately brings, produces and trades illegal fishing equipment or illegal fishing aids that are not in accordance with the provisions referred to in Article 7 shall be punished with a maximum fine of Rp. 250,000, two hundred and fifty million rupiah”. So that law enforcers comprehensively apply the elements of the intended crime, including proving the elements of intentional wrongdoing, Actus Reus and Mens Rea, as well as excuses that eliminate a Fasyehhudin Firdaus FirdausBelardo Prasetya Mega JayaMuhammad YusufThe South China Sea is a sea area located south of China and directly borders with other countries in the Asia Pacific and countries in Southeast Asia. The Chinese government claims unilaterally its territorial territory on the basis of Nine Dash Line. Often based on this it becomes a dispute or conflict between neighboring countries. In order to affirm the sovereign territory in the North Natuna waters, the Government of Indonesia named the North Natuna Sea the South China Sea which is included in the Exclusive Economic Zone of the Unitary State of the Republic of Indonesia. The purpose of this research is to find out the history of the North Natuna Sea and Indonesia's right to name the North Natuna Sea. This study uses normative research methods. The reason the Chinese government implemented Nine Dash Line departing from the history that they claim in control of the South China Sea, which actually based on international law or provisions in UNCLOS 1982 cannot be legalized. The Indonesian government has the legal right to be able to name the North Natuna Sea, which is still part of the Indonesian Exclusive ZoneAmadis Rasendhriya YustiarachmanSetiap negara khususnya negara kepulauan maupun negara pantai diberi kewenangan dan hak untuk mengelola wilayahnya termasuk laut, dan udara diatasnya serta sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Kewenangan dan hak dari negara kepulauan diatur dalam pasal 46 UNCLOS yang menjelaskan istilah dari negara kepulauan. Dalam hukum laut internasional setiap peseta tunduk kepada UNCLOS tahun 1982. Pasal 49 ayat 4 menyebutkan bahwa hukum laut tunduk pada rezim alur lintas kepulauan yang dimana telah diatur dalam UNCLOS tahun 1982. Alur lintas kepulauan merupakan suatu hak untuk melintas didalam wilayah suatu negara yang dimana melewati perairan kepulauan. Sekilas alur lintas kepulauan terlihat sama dengan lintas transit, tetapi lintas transit melalui selat sedangkan alur lintas kepulauan melalui perairan kepulauan. Alur lintas kepulauan dalam UNCLOS tahun 1982 diatur dalam pasal 53 yang dimana pasal tersebut menjelaskan hak-hak dalam alur lintas kepulauan seperti; melintasi perairan kepulauan baik kapal maupun pesawat secara terus menerus, larangan menyimpang 25 mil dari garis sumbu baik kapal maupun pesawat, hak menikmati alur lintas kepulauan dan ketentuan lain yang diatur dalam pasal 53 UNCLOS tahun 1982. Indonesia dan Filipina merupakan pelopor dari rezim konsep negara kepulauan dalam UNCLOS tahun 1982.
pxhere Keutuhan wilayah Indonesia merupakan konsep dari wawasan nusantara. Intisari - - Bagi masyarakat Indonesia perlu diketahui mengenai wawasan nusantara, yang merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Tercakup di dalamnya yaitu seluruh aspek kehidupan yang utuh sehingga tidak dapat dipisahkan sesuai dengan kepentingan. Serta, bangsa Indonesia yang majemuk seharusnya bisa membina dan membangun atau menyelenggarakan kehidupan nasional yang baik. Untuk itu, pembinaan dan penyelenggaraan tata kehidupan bangsa dan negara disusun atas dasar hubungan timbal balik antara semua aspek dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan nasional. Baca Juga Jadi Pembuka Celah Penjajahan Bangsa Eropa di Nusantara, Inilah Alfonso de Albuquerque, Penjelajah Portugal yang Ngebet Taklukan Umat Islam, Wafat dengan Sangat Menderita Dikutip dari konsepsi wawasan nusantara menganut filosofi dasar geopolitik Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai hasil perenungan filsafat tentang diri dan lingkungannya, wawasan nusantara mencerminkan dimensi pemikiran mendasar bangsa Indonesia yang mencakup dimensi kewilayahan sebagai suatu realitas serta dimensi kehidupan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai suatu fenomena hidup. Kedua dimensi pemikiran tersebut merupakan keterpaduan pemikiran dalam dinamika kehidupan pada seluruh aspek kehidupan nasional yang berlandaskan Pancasila. Pada wawasan nusantara terdapat beberapa hakikat yang perlu diketahui. Baca Juga Sesuai dengan Jati Diri Bangsa Indonesia, Inilah Mengapa Dipilih Burung Garuda sebagai Lambang Negara dan Sejarah Pembuatannya Apa saja hakikat dari wawasan nusantara? Hakikat wawasan nusantara merupakan keutuhan nusantara dalam pengertian cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional. Hal tersebut berarti bahwa setiap warga masyarakat dan aparatur negara harus berpikir, bersikap, dan bertindak secara utuh menyeluruh demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Demikian juga produk yang dihasilkan oleh lembaga negara harus dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia tanpa menghilangkan kepentingan lainnya, seperti kepentingan daerah, golongan, dan perorangan. Baca Juga Penerapan Pancasila Sebagai Dasar Negara pada Masa Awal Kemerdekaan, Serta Pemberontakan yang Berupaya Mengganti Pancasila dengan Ideologi Lain Kita memandang bangsa Indonesia dengan nusantara merupakan satu kesatuan. Jadi, hakikat Wawasan Nusantara adalah keutuhan dan kesatuan wilayah nasional. Dengan kata lain, hakikat wawasan nusantara adalah “persatuan bangsa dan kesatuan wilayah. Dalam GBHN disebutkan bahwa hakikat Wawasan Nusantara diwujudkan dengan menyatakan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini PROMOTED CONTENT Video Pilihan
182 Keempat, perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan dan keamanan memiliki arti bahwa i ancaman terhadap satu daerah pada hakikatnya merupakan ancaman bagi seluruh bangsa dan negara serta ii tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam pembelaan negara. Dengan ditetapkannya rumusan wawasan nusantara sebagai ketetapan MPR, wawasan nusantara memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua penyelenggara negara, semua lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, serta semua warga negara Indonesia. Hal ini berarti bahwa setiap rumusan kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan nasional harus mencerminkan hakikat rumusan wawasasn nusantara. D. Dasar Pemikiran Wawasan Nusantara Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran wawasan nusantara. Beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pembenaran adanya konsep wawasan nusantara antara lain sebagai berikut. 1. Faktor Geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan kecil. Di antaranya, sejumlah pulau sudah diberi nama. Hanya kurang lebih pulau yang dihuni penduduk. Indonesia dikenal subur dengan flora dan faunanya. Di bumi Indonesia terdapat kekayaan alam yang melimpah terutama bahan-bahan vital dan strategis seperti minyak bumi, timah, besi, bauksit, mangaan, batubara. GBHN menggariskan bahwa jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Apabila dapat dibina dan dikembangkan sebagai tenaga kerja yang efekstif akan merupakan modal pembangunan yang besar. Sebaliknya, apabila tidak dibina dengan baik akan menjadi beban negara. Indonesia sebagai suatu negara yang terdiri dari ribuan pulau-pulau besar dan kecil, dan mempunyai wilayah perairan yang dikelilingi oleh samudera-samudera yang luas, yaitu Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Juga diapit dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia. Dengan demikian, kedudukan negara Indonesia yang berada pada posisi silang dunia dan oleh karena itu dinamakan nusantara. Kepulauan Indonesia dengan seluruh perairannya dipandang oleh bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan utuh, tidak terpisah-pisah satu pulau dengan pulau lainnya. Cara pandang bangsa tersebut telah lama dipahami dan dihayati, sehingga dalam menyebut tempat hidupnya atau tumpah darahnya pun digunakan istilah tanah air. Istilah ini mempunyai pengertian bahwa bangsa Indonesia tidak pernah memisahkan antara tanah dan air, atau tidak memisahkan antara daratan dan lautan. Daratan dan lautan merupakan satu kesatuan yang utuh. Laut dianggap sebagai pemersatu bukan pemisah antara pulau satu dengan lainnya. 2. Faktor Geopolitik Istilah Geo memiliki arti ‗bumi. Jadi, geopolitik adalah politik yang tidak terlepas dari penggaruh kondisi geografis dari bumi yang menjadi wilayah hidupnya. Istilah Geopolitik geopolitics adalah singkatan dari geographical politics, 183 yang dicetuskan oleh Rudolf Kjellen. Kjellen mencetuskan istilah tersebut dalam rangka mengemukakan suatu sistem politk yang menyeluruh, yang terdiri atas geopolitik, demopolitik penduduk untuk kepentingan politik, ekonomipolitik, sosiopolitik dan kratopoliti kekuasaan untuk kepentingan politik. Bermula seorang ahli geografi bernama Frederich Ratzel mendalami biologi untuk memperluas cakrawala wawasannya, yang kemudian dia berpendapat bahwa pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup sebagai tempat naungannya, sehingga organisme dapat tumbuh dengan subur. Teorinya dikenal dengan teori organisme atau teori biologis teori organisme biologis. Pendapat Ratzel mendapat perhatian Rudolf Kjellen yang menyatakan dengan tegas bahwa negara adalah suatu organisme, bukan hanya mirip pendapat Rastzel. Pandangan Ratzel dan Kjellen kemudian dikembangkan oleh Karl Haushofer. Houshofer melihat bahwa geopolitik-lah yang mencakup seluruh sistem politik Kjellen. Houshofer memberi arti geopolitik sebagai i doktrin negara di bumi , ii doktrin perkembangan politik di dasarkan pada hubungannya dengan bumi, dan iii landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan kelangsungan hidup suatu organisme negara untuk mendapatkan ruang hidupnya. Karl Houshofer mengembangkan geopolitik tersebut dan diwujudkannya dalam beberapa istilah dan pandangan berikut ini. 1 Lebensraum ruang hidup, dengan mengambil istilah dari Ratzel, yang berarti bahwa manusia sama dengan orgnasisme yang memerlukan ruang hidup. Jika jumlah penduduk suatu negara lebih banyak dibandingkan luas wilayahnya, negara tersebut harus memperluas ruang hidupnya agar segala kebutuhannya tercukupi. Oleh karena itu, negara harus mengusahakan kebutuhan hidup bagi penduduknya. 2 Auatarki, yaitu cita-cita untuk memenuhi kebutuhan negara sendiri tanpa menggantungkan diri pada negara lain. Hal ini mungkin bisa dilakukan jika wilayah negara itu cukup luas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan pemikiran inilah lahirlah konsep Pan-region suatu wilayah yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam teori Lebensraum dan Autarki . Dalam menyusun konsepsinya, Haushofer memandang dunia cukup dibagi menjadi 4 pan-region, yaitu sebagai berikut. a Pan-Amerika, yaitu ―suatu perserikatan wilayah‖ yang paling alami karena terpisah dengan negara lain oleh samudera dan Amerika Serikat ―dianggap‖ sebagai pemimpinnya. b Pan-Ero Afrika, yaitu wilayah yang akan ―dikuasai‖oleh Jerman. Wilayahnya bukan hanya negara-negara kecil di Eropa, melainkan negara- negara besar seperti Prancis dan Italia berada dalam jangkauan kekuasaanya. Rusia disarankan untuk membuat pan-region sendiri, sedang Inggris dibiarkan ―mengambang‖. c Pan-Rusia, yaitu suatu wilayah yang meliputi Uni Soviet dan India yang dikuasai oleh Rusia. d Pan-Asia, yaitu bagian timur Benua Asia, Australia, dan kepulauan di antaranya ―dipimpin‖ oleh Jepang. Pan region ini oleh Jepang dinamakan ―Lingkungan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya‖. 184 Tujuan Karl Houshofer mengemukakan teori geopolitik ini ialah untuk menyiapkan upaya justifikasi atau landasan pembenaran negara Jerman untuk mengembangkan politik eskspansionisme dan rasialisme. Mengenai teori geopolitik, bangsa Indonesia tidak sependapat dengan cara berpikir Karl Hosuhofer yang mengarah ke ekspasionisme dan rasialisme. Namun dalam hal ini bangsa Indonesia berdasarkan pada pertimbangan kondisi dan konstalasi geografi wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan untuk mewujudkan cita-citanya dan tujuan nasionalnya. Landasan pemikiran tentang geopolitik bangsa Indonesia adalah falsafah Pancasila yang penerapannya tidak mengandung ekspansionisme dan kekerasan yang tercantum dalam tujuan nasional bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, yaitu dunia yang tertib, dunia yang damai, dan berkeadilan social . Selain teori geopolitik di atas masih ada beberapa teori yang lain seperti dikemukakan berikut ini. 1 Wawasan Benua Teori ini dikemukakan oleh Sir Halford Me Kender. Isi teorinya mengenai konsep kekuatan di darat atau Wawasan Benua ialah bahwa barang siapa menguasai ―daerah jantung‖ Eropa Timur dan Rusia atau daerah porospivot area , ia akan mengusai pulau dunia Eropa, Asia dan Afrika, yang pada akhirnya mengusai dunia. 2 Wawasan Bahari Teori ini dikemukakan oleh Sir Walther Releigh dan Mahan yang mengemukakan Wawasan Bahari atau konsep kekuatan di laut. Mereka mengemukakan bahwa barang siapa mengusai lautan akan menguasai perdagangan dan barang siapa menguasai perdagangan akan menguasai kekayaan dunia, sehingga dunia akan dikuasainya. 3 Wawasan Dirgantara Teori Wawasan Dirgantara atau konsep kekuatan di udara dikemukakan oleh W. Michael, A. Saversky, G. Douchet dan Fuller. Mereka berpendapat bahwa kekuatan di udara merupakan daya tangkal yang paling ampuh tarhadap ancaman dan dapat melumpuhkan musuh di kandangnya sendiri, agar tidak mampu lagi bergerak untuk menyerang. 4 Wawasan Kombinasi Wawasan kombinasi dikemukakan oleh Spijkman yang menghasilkan teori daerah batas rimland. Teori ini banyak dipakai oleh negarawan ahli geopolitik dan strategi untuk menyusun kekuatan bagi negaranya. Sejauh mana pengaruh ―Wawasan-wawasan Kekuatan‖ terhadap bangsa Indonesia?. Dalam sejarah Indonesia, Indonesia pernah terpengaruh ―Wawasan- wawasan kekuatan‖ tersebut di atas. Sebelum tahun 1966, zaman orde lama angkatan perang RI terpengaruh oleh wawasan-wawasan tersebut sehingga lahirlah i Angkatan Darat yang menganut Wawasan Benua, yang dirumuskan dalam doktrin Tri Ubaya Sakati, ii Angkatan Laut yang menganut Wawasan Bahari, yang dirumuskan ke dalam doktrin Eka Gasana Jaya, iii Angkatan Udara yang menganut wawasan Swa Buana Paksa, dan iv POLRI yang menganut doktrin Tata Tentrem Kartaraharja . Adanya wawasan yang berbeda-beda itu membawa persaingan antarangkatan secara tidak sehat, sehingga dapat diadu domba oleh G 30 SPKI. Untuk mengatasinya diadakan suatu upaya menyusun doktrin yang menyangkut 185 ke empat matra POLRI termasuk ABRI. Upaya ini dilakukan pada tahun 1966 dalam seminar Hankam yang berhasil menyusun doktrin Catur Dharma Eka Kharma. Pada tahun 1966 pertama kali dikumandangkan istilah wawasan nusantara sebagai wawasan hankamnas. Kemudian wawasan nusantara ditingkatkan menjadi wawasan nasional Indonesia, sehingga wawasan hankamnas menjadi bagian dari wawasan nusantara. 3. Faktor Geostrategi
kepulauan nusantara di dalam gbhn dipandang sebagai satu kesatuan